Kamis, 09 Februari 2012

Koreksi Catu Beras Tidak Adil Bagi Pengusaha Perkebunan di Daerah Terpencil

Bahwa sesuai Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan telah disebutkan bahwa arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
a.    lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak
b.    lebih memberikan kemudahan kepada wajib pajak
c.    lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan
d.    lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e.    lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik  penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dibidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Mengacu pada arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut diatas, maka Peraturan yang mengatur tentang pemberian catu beras tidak boleh dibiayakan menurut kami tidak sesuai dengan beberapa arah dan tujuan dari penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan  Nomor 36 Tahun 2008. Adapun alasannya dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :

•    Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak
Koreksi terhadap pemberian catu beras kepada karyawan yang bekerja di daerah terpencil bagi Pengusaha Perkebunan yang berada didaerah terpencil menurut kami tidak lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak mengingat pada adanya peraturan yang membolehkan pemberian makanan dan minuman kepada seluruh karyawan yang diberikan ditempat kerja bagi Pengusaha lain dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan bruto. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemberian/penyediaan makanan dan minuman tersebut umumya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang kondisi lingkungan atau lokasinya dapat terjangkau untuk memperoleh makanan dan minuman (contoh ekstrimnya adalah perusahaan yang berada dikota besar dapat membiayakan pengeluaran ini sebagai pengurang penghasilan bruto walaupun sebenarnya karyawan-karyawannya bisa saja makan dan minum ditempat/rumah makan yang berada disekitar lingkungan perusahaan). Sementara itu bagi perusahaan yang berada didaerah terpencil yang kondisi lingkungan atau lokasinya tidak memungkinkan tersedianya tempat makan untuk karyawan yang bekerja didaerah terpencil tidak dapat membiayakan pemberian makanan sebagai pengurang penghasilan bruto.

Bahwa pemberian  catu beras kepada karyawan yang berada di daerah tertentu dan usaha tertentu khususnya dibidang usaha perkebunan merupakan keharusan yang patut diberikan oleh perusahaan kepada karyawan karena didaerah yang terpencil sangatlah sulit bagi karyawan untuk membeli makanan diluar dan tidak mungkin juga perusahaan dapat menyediakan makanan dan minuman kepada seluruh karyawan yang jumlahnya ratusan pada suatu tempat yang sama mengingat jarak tempuhnya yang cukup jauh.


Oleh karena itu bagi perusahaan perkebunan harus memberikan tunjangan catu beras kepada karyawannya agar dapat mereka masak dirumahnya masing-masing sehingga para karyawan lebih efisien untuk makan siang dirumah mereka yang jaraknya lebih dekat dengan tempat mereka bekerja. Mungkin yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa hanya berupa beras saja tidak dengan lauk pauk dan sayur-sayurannya?
Bahwa kebutuhan pokok utama makanan penduduk di indonesia adalah beras (yang dimasak menjadi nasi) dan beras juga tidak menjadi busuk seperti halnya lauk pauk dan sayur-sayuran. Pertimbangan lainnya juga bisa karena keragaman terhadap jenis lauk pauk dan sayur-sayuran yang tidak mungkin dapat diakomodir (disediakan) sesuai dengan selera masing2 karyawan.

•    Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik  penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dibidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
Koreksi terhadap pemberian catu beras menurut kami tidak menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik  penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dibidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Dengan tidak diakuinya pemberian catu beras bagi Pengusaha di Daerah tertentu sudah pasti pengenaan pajaknya lebih besar dibanding Pengusaha lain yang memberikan makanan dan minuman dilingkungan kerjanya karena atas biaya pengeluaran makanan  dan minuman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto sedangkan bagi Pengusaha di Daerah Terpencil seperti Perkebunan tidak dapat membiayakan pemberian catu beras sebagai pengurang penghasilan bruto.

Bahwa sesungguhnya didalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan telah memfasilitasi kebijakan pemerintah tersebut sebagaimana disebutkan :
“ .... Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya :
1.    penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;
2.    pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
3.    pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Mudah-mudahan tulisan kami ini dapat bermanfaat. Kami yakin apa yang sudah tertuang di Undang-Undang Perpajakan di Indonesia mempunyai tujuan yang bagus dan baik untuk negara maupun warga negaranya (Wajib Pajak) dengan segala pertimbangan-pertimbangan yang dapat memberikan rasa keadilan  bagi keduanya (negara dan warga negaranya). Untuk itu kami berharap jangan sampai dibuat samar-samar lagi dengan aturan pelaksanaannya sehingga menjadi "Gray Area" bagi kedua belah pihak.

Selasa, 26 April 2011

PUPUK BOLEH DIKREDITKAN SEBAGAI PAJAK MASUKAN BAGI USAHA YANG TERINTEGRASI

Bahwa akhir-akhir ini muncul dua versi mengenai perlakuan pengkreditan pajak masukan atas pembelian pupuk. Ada versi yang memperbolehkan pengkreditan pajak masukan atas pembelian pupuk namun yang lain tidak memperbolehkan pengkreditan pajak masukan atas pembelian pupuk. Perbedaan persepsi ini tentu saja terjadi hanya kepada Pengusaha Kena Pajak yang usahanya terintegrasi dimana bahan bakunya merupakan barang kena pajak yang PPN nya dibebaskan, seperti halnya ; Industri Pertanian, Industri Perkebunan, Industri Kehutanan, Industri Perikanan dan peternakan.

Bahwa saya sangat tertarik untuk melihat kembali peraturan-peraturan yang menjadi dasar munculnya perbedaan persepsi tersebut. Untuk itu saya akan mencoba mengulas perbedaan persepsi ini sesuai dengan peraturan-peraturan yang mendasarinya.

Bahwa mengenai pengkreditan pajak masukan secara umum telah diatur berdasarkan UU PPN No.42 Tahun 2009 pada Pasal 9 ayat   (2) s.d  (2b) sebagai berikut :

Pasal 9

(1)
Dihapus.
(2)
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a)
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b)
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

Kemudian secara khusus pada Pasal 9 ayat  (5)  dan (6) mengatur tentang perlakuan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak.

Pasal 9 Ayat (5)

“Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”

Penjelasan Pasal 9 Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh :
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a.      penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
      Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
a.      penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
      Pajak Keluaran = nihil
a.      penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
      Pajak Keluaran = nihil

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
a.      Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
b.      Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai  = Rp300.000,00
c.       Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.

Pasal 9 Ayat (6)

“Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Penjelasan Pasal 9 Ayat (5)

Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu:
  1. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
    Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
  2. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
    Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Jadi dapat saya simpulkan bahwa didalam Pasal 9 UU PPN No.42 Tahun 2009 telah diatur perlakuan perpajakan mengenai pengkreditan pajak masukan bagi ;
  1. Pengusaha Kena Pajak yang secara umum HANYA melakukan penyerahan BKP yang terutang PPN ,dan
  2. Pengusaha Kena Pajak yang dalam usahannya melakukan penyerahan yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN dan/atau yang PPN nya Dibebaskan/Ditanggung Pemerintah.

Mengacu pada Pasal 9 ayat  (5) dan (6) UU PPN No.42 Tahun 2009 maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor KMK.643 TH.1994 yang telah diperbaharui dengan KMK.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG TIDAK TERUTANG PAJAK yang mengatur lebih lanjut tentang bagaimana perlakuan pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam penyerahannya terutang PPN dan yang tidak terutang PPN.

Bahwa pokok-pokok aturan yang diatur lebih lanjut dalam KMK tersebut adalah sbg berikut :

Yang dimaksud pada KMK ini adalah Pengusaha Kena Pajak yang ;
a.      Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai;
b.      Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai
c.      Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
d.      Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Yang dimaksud pada KMK ini perlakuan Pajak Masukan atas kegiatan tersebut dibagi menjadi :

1)    nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan
2)     digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya
3)      nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

Yang menjadi perbedaan persepsi didalam KMK tersebut adalah terdapat kalimat “nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan ” dan pada KMK tersebut juga dicontohkan “Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;”

Dalam hal ini saya mencoba menanggapi perbedaan persepsi tersebut. Jika kita membaca KMK ini dengan hati-hati maka dapat kita temukan bahwa didalam KMK tersebut terdapat kata “penyerahan” dan "perkebunan jagung".

Bahwa sekali lagi saya sarankan untuk membaca dengan hati-hati KMK tersebut karena sesungguhnya KMK tersebut merupakan turunan dari Pasal 9 Ayat (5) dan (6) UU PPN No.42 Tahun 2009 yang secara khusus mengatur pedoman pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam usahanya terdapat penyerahan yang terutang PPN dan yang tidak terutang PPN.

Lalu bagaimana dengan Pasal 16B ayat (3) UU PPN No.42 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.” Apakah bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (5 & 6) dan KMK tersebut? Untuk itu mari kita baca secara hati-hati isi dari Pasal 16B ayat (3) UU PPN No.42 Tahun 2009.

Bahwa didalam kalimat Pasal 16B ayat (3) UU PPN No.42 Tahun 2009 lagi-lagi terdapat penggunaan kata “penyerahan”.

Pasal 16B ayat (3);

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.”
Jika kita hubungkan dengan arti “Penyerahan” menurut Pasal 1A UU PPN No.42 Tahun 2009, maka saya simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Penyerahan BKP adalah sebagai berikut :
a.      penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b.      pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c.       penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d.      pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e.       Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f.        penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g.      penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h.      penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Sekarang kita kaitkan satu persatu dengan definisi “penyerahan” tersebut diatas apakah penyerahan jagung dari kebun jagung ke pabrik jagung didalam usaha yang terintegrasi dan didalam satu area merupakan ;
a.      penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian?
b.      pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)?
c.       penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang?
d.      pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak?
e.       Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan?
f.        penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang?
g.      penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi?
h.      penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak?
Sudah pasti jawabannya adalah tidak termasuk kesemua kriteria tersebut diatas. Kemudian dapat timbul pertanyaan seperti ini, kalau begitu pemakaian hasil perkebunan (jagung) sebagai bahan mentah untuk industri minyak jagung dapat dikategorikan sebagai “Pemakaian Sendiri (huruf d)”? sehingga pengiriman Bahan baku (jagung) dari perkebunan ke Pabrikan termasuk kedalam istilah “Penyerahan”?

Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat peraturan perpajakan yang mengatur tentang “Pemakaian Sendiri” yaitu Keputusan Dirjen Pajak Nomer : KEP - 87/PJ./2002 tanggal 18 Pebruari 2002 Tentang “PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK”

Bahwa didalam keputusan Dirjen Pajak tersebut disebutkan bahwa pemakaian sendiri adalah :

“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif. “

Selanjutnya di dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut juga disebutkan ;

“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.”

Jadi sudah terjawab bahwa pemakaian bahan baku jagung  untuk diolah menjadi produk Industri Minyak Jagung bukan termasuk sebagai Pemakaian Sendiri, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian ‘Penyerahan” yang dimaksud pada Pasal 16B  ayat (3) UU PPN No.42 Tahun 2009 adalah penyerahan BKP Sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1A UU PPN No.42 Tahun 2009.

KESIMPULAN

Dengan demikian berdasarkan dasar-dasar aturan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :
  • Penyerahan bahan baku dari perkebunan ke Pabrik dalam usaha terpadu (integrated) seperti industri minyak jagung, industri minyak kelapa sawit, industri minyak cengkeh, dsb. tidak termasuk dalam pengertian “penyerahan”.
  • Bagi pengusaha kena pajak (PKP) usaha terpadu (integrated) yang selain menggunakan/memakai bahan baku perkebunan juga menjual bahan baku perkebunan tersebut kepihak lain maka penjualan bahan baku perkebunan (misal : jagung) kepada pihak lain tersebut termasuk dalam pengertian “penyerahan” sebagaimana diatur pada Pasal 1A UU PPN Tahun 2009.
  • Bagi pengusaha kena pajak (PKP) usaha terpadu (integrated) yang melakukan kegiatan  penyerahan barang yang terutang PPN dan juga tidak terutang PPN atau PPN Dibebaskan atau PPN Ditanggung Pemerintah (misal: selain menjual Minyak Jagung juga menjual Jagung) maka cara pengkreditan pajak masukkannya dilakukan sesuai dengan KMK. NO. 575/KMK.04/2000.
  • Bagi pengusaha kena pajak (PKP) usaha terpadu (integrated) yang kegiatan usahanya HANYA menjual (menyerahkan) barang yang terutang PPN maka atas seluruh pajak masukkannya dapat dikreditkan sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (2) dan selama tidak bertentangan dengan persyaratan faktur pajak masukkan yang dapat dikreditkan sebagimana di atur pada Pasal 13 Ayat (5) dan (9).
  • Bagi  pengusaha kena pajak (PKP) yang seluruh kegiatan usahanya  melakukan penyerahan barang yang tidak terutang PPN, dan/atau PPN dibebaskan, dan/atau PPN ditanggung Pemerintah (sebagaimana dicontohkan usaha Perkebunan Jagung) maka atas seluruh Pajak Masukan untuk memperoleh BKP/JKP tersebut tidak dapat dikreditkan.
Jadi sesungguhnya tidak ada peraturan yang saling bertentangan dalam mengatur pengkreditan pajak masukkan ini bahkan semuanya saling memperjelas masalah pengaturan pengkreditan pajak masukkan.

Sekiranya inilah ulasan yang dapat saya sajikan semoga dapat memberi manfaat.